Oleh Fajar Eka Bintara (SMA N 2 KLATEN / XA’11 / XI IPS 2 ‘12)
“Kalau Ratih jadi kuliah di kota, memangnya ibu ngga apa-apa?”
“Ya ngga apa-apa toh nduk, ibu justru senang.”
“Terus yang nemenin ibu jualan pagi-pagi, siapa?”
“Ya ibu sendirian toh.”
“Tapi, bu…”
“Udah tenang aja, yang penting kamu berhasil, dan semoga beasiswa itu benar-benar kamu dapatkan. Ibu akan sangat bangga.”
“Doakan Ratih ya, bu. Pengumuman kelulusan dan beasiswa itu besok pagi.”
“Pasti, cah ayu. Mari kita berangkat, nanti keburu siang.”
Matahari mulai mengintip dari ufuk timur. Satu persatu bulir embun meninggalkan kelopak kembang dan dedaunan, tersapu mentari. Kabut dari puncak bukit mulai turun, udara di desa begitu dingin, bahkan mampu menembus
baju hangat yang dikenakan oleh para pejalan kaki. Jika libur, Ratih menemani ibunya berjualan makanan untuk penduduk desa sarapan. Ya, hasilnya tidak seberapa, tidak cukup untuk menghidupi, oh, tidak, kalau hanya untuk makan sehari-hari, mungkin saja cukup, tapi jika untuk biaya Ratih kuliah di perguruan tinggi, tentu tidak cukup. Bahkan untuk biaya Ratih sekolah SMA saja sering nunggak. Karna itulah ibu Ratih menerima pesanan rajutan untuk baju hangat, syal, sarung tangan, kaos kaki, dan apapun yang dipesan untuk mencukupi biaya tersebut.
Semangat Ratih sangat tinggi, ia bertekad untuk kuliah agar nantinya dapat menjadi orang sukses dan bisa membahagiakan ibunya tercinta. Karna itulah Ratih tiada henti belajar demi kelulusan dan beasiswa yang diselenggarakan oleh pihak sekolah bagi siswa yang berprestasi. Prestasi Ratih cukup gemilang, ia memang terkenal gadis yang pintar. Tapi agaknya Ratih cukup berat meninggalkan ibunya seorang diri. Ibunya mulai sakit-sakitan beberapa minggu terakhir ini. Sedangkan ayahnya, sudah meninggal karna sakit dua tahun lalu. Kini Ratih hanya hidup berdua dengan sang ibu. Penuh dengan kesederhanaan, tapi mereka tetap tiada henti bersyukur dan menjalani kehidupan dengan suka cita.
***
Langit mulai lindap. Ditambah cuaca petang ini sangat mendung, membuat udara lembab menjadi sangat dingin. Ratih sedang mempersiapkan makan malam. Sementara sang ibu terus merajut baju hangat sedari siang tadi. Diperhatikan ibunya yang tengah serius merajut dan sesekali terbatuk. “Uhuk…uhuk…” Kali ini batuknya terdengar agak kencang. Ratih hanya termangu memperhatikan ibunya yang sudah mulai renta. Hatinya teriris, rasanya ia tak tega meninggalkan ibu untuk kuliah di kota.
“Bu, ayo makan, makanannya sudah Ratih siapkan.”
“Sebentar lagi, nduk, lagi tanggung…uhuk…uhuk…”
“Iya, tapi kan habis makan bisa dilanjutin ngerajutnya. Ayo, bu, makan dulu aja bareng Ratih.”
“Iya, iya…”
Ibu Ratih tergopoh-gopoh bangkit dan berjalan ke meja makan. Makanan sudah terhidang di meja. Meski hanya dengan lauk tempe dan sayur bayam, tapi mereka sangat menikmati hidangan malam itu.
“Bu, Ratih ngga jadi kuliah ya.”
“Lho, kenapa nduk?”
“Ngga apa-apa, Ratih mau nemenin ibu aja.”
“Jangan toh, sayang. Lagian ini kan demi masa depanmu.”
“Belum tentu dapet beasiswa juga toh bu.”
“Iya, tapi kan kemungkinannya sudah besar. Pokoknya, kamu harus kuliah, titik! Ibu sangat bahagia kalau kamu bisa kuliah.”
“Nggg…tapi… Besok ibu ikut ratih ke sekolah ya, kan di dekat sekolah Ratih ada puskesmas.”
“Ya ngga bisa toh, besok pagi ibu kan banyak kegiatan, jualan, terus ibu udah janji mau nganterin pesanan rajutan di desa atas.”
“…” Ratih hanya terdiam. Percuma membujuk ibunya, dia sudah tahu betul watak ibunya itu.
“Ya sudah, ibu melanjutkan kembali rajutan.”
Sementara Ratih sudah mulai beristirahat, ibunya masih saja memintal benang untuk dibuat menjadi baju hangat. Sebenarnya pesanan orang desa atas sudah selesai, tapi yang sekarang ia kerjakan ialah untuk putrinya tercinta. Ibu Ratih ingin menyelesaikan baju hangat itu sebelum pagi. Ia ingin Ratih memakainya untuk berangkat ke sekolah nanti, agar di perjalanan Ratih tidak kedinginan, juga untuk memberikan semangat kepada putrinya itu. Sudah larut malam tapi rajutan belum selesai, ibunya terus tiada henti mengerjakan baju hangat hingga selesai.
***
“Bu, Ratih berangkat dulu ya.”
“Sebentar nak, ini pakai.” Ibu Ratih memakaikan baju hangat yang ternyata sudah rampung.
“Lho, ini untuk Ratih, bu? Bukan pesanan orang desa atas?”
“Itu untuk kamu, nduk, untuk orang desa atas, itu.” Ibu Ratih menunjuk kepada baju hangat yang telah dilipat rapih di atas dipan.
“Wah, terima kasih ya bu, bagus sekali, Ratih sangat suka.” Tersungging senyum sumringah dari bibir Ratih.
“Syukurlah bajunya pas di badan kamu. Sudah sana, cepat kamu berangkat. Ibu doakan kamu lulus dan beasiswa itu berhasil kamu dapatkan.”
“Amin. Terima kasih, bu. Nanti juga ibu hati-hati perginya, jalanan licin semalam habis hujan.”
“Iya, tenang aja, ibu bisa jaga diri.”
Ratih segera mencium tangan ibunya, berpamit untuk berangkat kesekolah. Sepanjang perjalanan Ratih terlihat sangat ceria. Meski hawa dingin sangat menyengat pada pagi itu dikarnakan usai hujan, tetapi terasa hangat bagi Ratih. Entah kenapa tiba-tiba ia sangat bersemangat mendapatkan beasiswa itu, mungkin, karna ia juga sangat bertekad untuk membahagiakan ibunya. Sementara ibu Ratih sudah selesai bersiap-siap, membawa makanan untuk dijual, sekaligus baju hangat pesanan orang desa atas. Meski tubuhnya nampak kuyu karna sangat kurang istirahat, tapi tetap saja hal itu tidak mengendurkan semangatnya.
Pesanan baju hangat telah disampaikan kepada pemesan, kini ibu Ratih tinggal menghabiskan jualannya. Ia berjalan menuruni desa atas, hendak berjualan di sekitaran desanya saja. “Uhuk…uhuk…” sepanjang pejalanan tiada henti ibu Ratih terbatuk-batuk, dadanya terasa sangat sakit sekali. Tetapi ia tetap berjalan menuruni desa atas, hingga memasuki jalan setapak yang menurun sedikit curam. “Uhuk…uhuk…” kembali ibu Ratih terbatuk, tetapi kali ini sungguh ia terkejut, di tangannya yang bekas menutupi mulut karna batuk terdapat darah kental, lalu diiringi batuk kembali. Tubuh kuyuhnya terhuyung-huyung, pandangannya memburam, lalu akhirnya ibu Ratih tersungkur jatuh, tubuhnya menggelinding terjatuh di jalan setapak yang menurun itu, dan…, kepalanya terbentur keras dengan batu yang cukup besar, celakanya lagi batu itu cukup tajam. Tak pelak, darah keluar dari kepala ibu Ratih. Dan lebih celakanya lagi, dikarnakan jalan setapak itu masih sepi, jadi ibu Ratih tidak ada yang menolong.
Terlambat…
***
“Ya, betul, kamu lulus dengan gemilang, sekaligus mendapatkan beasiswa itu.” ujar wali kelas Ratih.
“Beneran, bu? Wah, syukurlah…” terlihat Ratih sangat senang dan tanpa sadar meneteskan air mata.
“Sekali lagi, selamat ya nak.”
Oh, alangkah senangnya Ratih saat ini. Usahanya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Teman-teman Ratih pun ikut senang, dan satu persatu mengucapkan selamat. Ratih tidak ingin membuang-buang waktu, dia segera bergegas pulang. Dia sudah taak sabar mengabarkan hal ini kepada ibunya. “Ibu pasti sangat senang.” ucapnya dalam hati. Tapi sayang, Ratih sudah tidak dapat melihat senyum kebahagiaan itu lagi, karna sang ibu telah tiada. Sepanjang perjalanan Ratih tiada henti tersenyum, tanpa tahu apa yang menimpa ibunya pagi tadi.
Tamat…
cerita di atas saya adobsi dari catatan Fajar Eka Bintara