“Ibu sedang menulis apa?” tanya putriku.
“Ibu sedang menulis surat untuk Allah,” jawab aku singkat.
“Ibu, bisa nggal kalau reima membaca surat ibu?” pinta anakku polos.
“Tidak, sayang. Surat ini sangat rahasia. Ibu tidak suka kalau ada seorang yang membaca surat ini!” tegasku.
Kulihat Reima tampak kecewa. Ia akhirnya keluar dari tempat kerjaku dengan perasaan kesal. Keinginannya untuk membaca surat yang kutulis tidak dikabulkan. Mungkin ia penasaran dengan apa yang kutulis selama ini. Sekalipun permohonannya selalu kutolak, namun dia selalu meminta untuk terus membaca surat yang kutulis. Setiap kali aku menolak, setiap itu pula dia meninggalkan kamarku dengan penuh kekecewaan. Namun bukan anakku kalau berputus asa begitu saja. Seperti biasa, setiap hari ia selalu memintanya tanpa henti. Rasa penasaran selalu menggelayutinya.
Sampai suatu ketika aku menyempatkan diri untuk pertama kalinya
masuk ke kamar Reima. Reima kaget bukan kepalang ketika ia tahu aku masuk ke kamarnya. Wah, apa gerangan yang membuat reima kaget, pikirku sejenak.
“Reima, apa yang sedang kamu tulis, sayang?” tanyaku penasaran.
Reima tampak bingung. Ia lalu menjawab singkat.
“Tidak Bunda. Ini adalah surat rahasiaku” jawab Reima.
Aku mendadak penasaran. Apa yang sedang ditulis bocah sembilan tahun itu hingga ia begitu kuatir aku membaca suratnya?
“Aku sedang menulis surat untuk Allah, seperti yang biasa bunda lakukan.”
Tiba-tiba ia melanjutkan ucapannya,
“Bunda, apakah surat yang alu tulis ini benar-benar akan terwujud menjadi kenyataan?”
“Tentu saja puteriku. Karena sesungguhnya Allah SWT maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Seperti halnya aku, ia juga tidak pernah mengizinkanku membaca surat-suratnya itu. Aku lalu keluar dari kamarnya. Kemudia aku menuju kamar Rasyid, suamiku. Seperti biasa aku akan membacakan koran untuknya di kamar. Sudah beberapa tahun ini ayah reima menderita sakit parah sehingga hanya bisa berbaring terus menerus dikasurnya. Penyakitnya tak kunjung sembuh meskipun telah mendatangi banyak rumah sakit dan dokter spesialis yang ahli dibidangnya.
Saat aku sedang membacakan koran untuk Rasyid, pikiranku melayang pada apa yang dikatakan puteriku.
Rasyid rupanya menangkap kebingunganku. Ia mungkin mengira bahwa dirinya menjadi penyebab kesedihanku. Aku pun segera menjelaskan kepadanya bahwa aku sedang berencana mendatangkan seorang perawat ke rumah untuk meringankan beban ini. Ya Allah, kenapa pula aku harus mengungkapkan hal ini di depan suamiku yang kini tengah berbaring tak berdaya?
Spontan aku meraih kepalanya dan mencium keningnya yang terlihat berkerut karena memikirkan aku dan puteriku. Hari ini mungkin ia mengira aku bersedih karenanya. Akhirnya aku menjelaskan juga kepadanya apa sebenarnya yang sedang menjadi kebingunganku saat ini.
Seperti biasa, Reima pergi ke sekolah. Namun sebelum pergi, biasanya Reima terlebih dahulu menghampiri dokter yang biasa memeriksa suamiku. Setelah dokter memeriksa suamiku, puteriku biasanya langsung menghambur ke kursi ayahnya dan duduk di dekatnya dengan penuh manja. Terkadang ia bersandar di dada ayahnya.
Dokter menjelaskan kepadaku tentang kondisi Rasyid yang kian hari kian buruk. Setelah itu dokter pun pergi meninggalkanku. Satu hal yang membuatku khilaf seumur hidupku. Aku lupa kalau Reima itu hanyalah seorang bocah kecil yang belum tahu apa-apa. Tanpa perasaan berdosa akhirnya aku menjelaskan kondisi Rasyid kepada Reima.
“Reim, tadi dokter menjelaskan bahwa jantung ayahmu, tempat bersemayamnya seluruh gelora cintanya kepadamu, kini mulai melemah. Ayahmu tak bisa bertahan hidup lebih dari tiga minggu ini.
Betapa hati Reima bergemuruh mendengar penjelasanya ibunya yang mengutip penjelasan dokter tadi. Seketika Reima menangis sejadi-jadinya seraya berteriak histeris,
“Bunda, kenapa semua ini terjadi pada ayah?”
“ Tidak, sayang. Kamu jangan bicara begitu. Lebih baik kamu doakan ayah, Reim. Kamu mesti tegar menghadapi segala ujian ini. Karena kamu adalah puteri ayah satu-satunya. Jangan lupa, untuk selalu mengharap rahmat Allah karena Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Reima terdiam sejenak. Ia seolah melupakan kesedihanya. Ia kini mulai tegar. Ia lalu berkata, “Ayahku tak akan mati!” tukas Reima.
Setiap pagi Reima selalu mencium pipi ayahnya yang panas. Tapi pagi ini, saat Reim mencium lembut pipi ayahnya, ia memandang lama ayahnya dengan penuh kerinduan seraya berkata,
“Ayah, alangkah senangnya jika suatu hari nanti ayah mengantarkanku ke sekolah seperti halnya teman-temanku.” Ujar Reima memelas.
Tampak kesedihan yang terbendung pada raut muka sang ayah. Ia pun segera menghibur puterinya yang sedang bersedih itu.
“Insya Allah Reim, akan datang saat itu,” ujar sang ayah seraya merasa yakin kalau ketakberdayaannya itu tetap tidak mampu menhibur puterinya.
Reima akhirnya pergi ke sekolah. Ketika aku pulang ke rumah dari mengantarnya, masih tersisa rasa penasaranku untuk membaca surat-surat yang sering ditulis Reima. Aku mencari di meja belajarnya tapi hasilnya nihil. Setelah terus aku cari-cari, ternyata tak membuahkan hasil juga. Dimanakah surat itu? Ah, surat-surat. Aku harus menemukannya! Demikian pikirku sambil terus mencari-cari tempat surat tersebut. Apakah Reima merobek surat itu setelah ia menulisnya? Hatiku tak menentu sambil terus bertanya-tanya.
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah kotak kecil berwarba hijau yang sangat disukai Reima. Dulu ia pernah memintanya dengan merengek-rengek dariku. Aku lalu memberikan kotak kecil itu kepadanya. Ya, mungkin dalam kotak kecil itu!
Pelan-pelan aku tarik kotak kecil itu dari bawah tempat tidurnya. Setelah kuamati dengan seksama, kotak kecil itu ternyata tidak terkunci. Aku pun membukanya. Ya Tuhan, benar! Dalam kotak kecil itu tersimpan banyak sekali surat Reima. Satu persatu aku lihat sekilas sampul luarnya. Subhanallah, ternyata semua surat itu ditujukan untuk Allah.
Mendadak bulu kudukku bergidik. Tanganku terus gemetaran saat satu persatu surat itu aku amati. Ternyata benar apa yang disebutkan selama ini oleh Reima. Dia benar-benar menulis surat untuk Tuhan!
Semakin penasaran melihat apa isi surat tersebut, aku lalu meraih sepucuk surat diantara tumpukan surat Reima yang banyak itu. Kuraih surat itu kuperhatikan, lalu kubaca,
Selasa, 28 September
Ya Allah, Ya Tuhanku
Semoga anjing milik Sa’id, tetangga kami, lekas mati. Sungguh anjing itu sering membuat Reim takut, Ya Allah!
Anjing yang mana? Igatanku menerawang. Oh, kini aku ingat. Si Boni, anjing kecil berwarba coklat milik Sa’id anak Pak Mahmud, tetangga kami. Seingatku, anjing yang suka menyalak kencang pada setiap tamu yan datang ke rumah mereka itu, memang mati seminggu yang lalu. Mungkinkah ini terjadi karena do’a Reima?
Kian penasaran, akhirnya surat berikutnya aku raih dan baca pelan,
Kamis, 30 September
Ya Allah, Ya Tuhanku.
Mudah-mudahan kucing Reim melahirkan anak yang banyak. Sebagai pengganti semua anak-anaknya yang dulu mati.
Entah kebetulan atau tidak, kucing Reima memang melahirkan anak yang banyak saat itu. Ah, ini kebetulan saja. Sekali lagi aku menduga-duga. Cepat-cepat kuraih surat berikutnya.
Jumat, 8 Oktober
Ya Allah, Ya Tuhanku.
Semoga putera bibiku, Ahmad, lulus ujiannya dengan hasil yang baik. Karena Reim sangat menyayangi Ahmad!
Subhanallah, bukanlah Ahmad tahun ini memang benar-benar lulus ujian dan berhasil mendapatkan nilai bagus di akhir studinya? Ah, tidak mungkin ini suatu kebetulan. Tidak mungkin pula surat ini ditulis Reima setelah semuanya terjadi. Aku tahu Reima bukanlah seorang bocah yang suka menipu dirinya sendiri. Ia bocah pintar. Ia anak yang cerdas! Ia adalah anak yang istimewa, lain daripada yang lain! Hatiku terus berkecamuk menentramkan rasa penasaran yang datang dari diriku sendiri.
Ahad, 10 Oktober
Ya Allah, Ya Tuhanku.
Mudah-mudahan bunga mawar yang aku tanam itu tumbuh dengan cepat. Aku akan memetik bunganya setiap hari untuk aku berikan kepada guruku.
Air mataku menetes tak terasa. Begitu sayangnya Reima pada gurunya. Pelan-pelan aku tersadarkan, bahwa semua doanya itu memang dikabulkan-Nya. Betapa bunga-bunga mawar yang tumbuh dibelakang rumah kami merekah dengan cepat. Aku harus percaya bahwa doa Reima memang ampuh! Soal anjing Said, kucingnya dan juga Ahmad. Kini bunga mawar untuk gurunya. Semua itu mustahil kebetulan belaka, tapi terjadi berkat doa Reima yang tulus. Berkat surat-surat Reima untuk Allah.
Aku benar-benar bangga sama Reima. Selain karena ia memang anak yang cerdas, ia juga penyayang. Sekalipun aku sesekali mengacuhkan kecerewetannya saat ia terus-menerus menanyakan sesuatu yang tidak diketahuinya kepadaku. Ah, aku memang terkadang tidak mampu berbuat adil dan menyayangi anakku dengan baik.
Semua surat itu akhirnya aku baca. Semua surat itu ditulis Reima dengan polos. Suatu ciri dan watak anak-anak seusianya. Polos, jujur, tapi juga lugas! Surat terakhir yang aku baca ialah, doanya untuk pembantuku.
Rabu, 8 Desember
Ya Allah, Ya Tuhanku.
Karuniakanlah kecerdasan kepada pembantu kami, bi Asih. Bukan apa-apa, betapa dia selalu membuat Bunda sangat Repot.
Bi Asih memang sedikit tulalit. Ia sebenarnya penurut, tetapi seringnya Bi Asih tak tanggap memahami setiap pesan dan kata-kataku. Namun akhir-akhir ini Bi Asih sedikit cerdas. Awalnya aku tak begitu peduli akan perubahan Bi Asih. Aku baru sadar kalau semua itu terjadi berkat doa Reima.
Kenapa Reima tidak mendoakan ayahnya agar segera sembuh dari penyakitnya? Aku benar-benar merasa penasaran. Tidak mungkin Reima tidak menympatkan dirinya menulis doa kepada Allah bagi orang yang sangat ia sayangi, terutama pada ayahnya sendiri yang sedang sakit? Belum juga rasa penasaranku pupus, tiba-tiba telepon rumah berdering dengan nyaring. Suara telepon itu membuatku tersadar dari rasa penasaranku.
Bi Asih, pembantu rumahku, segera meraih telepon itu, kemudian Bi Asih memanggilku,
“Guru sekolah Reim ingin bicara penting dengan nyonya!” Seru Bi Asih.
“Baik, tunggu sebentar Bi,” jawabku singkat seraya merapikan terlebih dahulu surat-surat Reima dan memasukkannya lagi ke kotak hijau itu.
Guru sekolah Reim? Apa yang terjadi dengan Reim? Tak seperti biasanya ada panggilan sekolah. Apalagi Reima adalah anak yang baik, bukan orang yang suka membuat gara-gara. Selama ini ia tak pernah tercatat nakal atau suka mengganggu temannya.
“Selamat siang Bu Rasyid,” suara dari seberang membuka percakapan.
“Selamat siang, dengan siapa ya?” tanyaku.
“Saya Maimunah, Kepala Sekolah Reim.”
“O, ahlan wa sahlan, Bu Maemunah. Gimana kabarnya Bu?”
“Baik.”
“Bu Rasyid, begini…”
Suara Bu Maemunah terputus sejenak. Ada hela napas panjang dari balik telepon. Ia seolah sedang memikirkan sesuatu yang ingin diucapkannya. Ia seakan tengah memilih kata-kata yang tepat untuk diungkapkan kepadaku.
“Iya Bu, ada apa?”
“Begini Bu, semoga ibu bisa tenang mendengar kabar ini. Ini Soal Reim Bu….”
“Iya kenapa, Bu, ada apa dengan Reim?” tanyaku kian penasaran.
“Tadi siang Reim jatuh dari tangga lantai empat Bu…”
“Apa ???????!!!!!!!!!!!!.............”
Mendengar kabar itu badanku mendadak lemas. Tubuhku menggigil. Keringat dingin bercucuran di setiap lekuk tubuhku. Tanganku gemetaran. Rasanya sudah tidak kuat lagi memegang pesawat telepon di tangaku ini.
“Iya Bu. Tadi siang Reim pergi ke rumah Bu Asma yang kebetulan tidak masuk sekolah hari ini. Katanya Reim hendak mengantarkan bunga untuk Bu Asma. Saat Reim naik tangga, kakinya terpeleset dan ia terjatuh hingga ke lantai dasar.”
Aku tak ingat lagi apa yang dikatakan Bu Maemunah. Kata-kata terakhir yang masih aku ingat saat itu adalah Reima jatuh, bunganya pun ikut terjatuh. Aku baru tersadarkan diri saat sudah berada ditempat tidur kamarku dan ditemani Bi Asih yang duduk disampingku sambil mengipas-ngipasiku. Mungkin tadi aku pingsan. Terus bibi membawaku ke kamar.
“Bi, Reim mana?”
“Reim kini sedang dirawat di rumah sakit, Nyonya.”
“Rumah sakit mana, Bi?”
“Rumah sakit Faishal.”
“Okelah, saya mau segera berangkat ke sana ya, Bi. Hati-hati di rumah, jaga Bapak baik-baik.”
“Tidak istirahat dulu, Nyonya? Nyonya baru siuman. Tadi Nyonya pingsan, lalu Nyonya saya bawa ke sini.”
“Nggak perlu, Bi. Tolong jangan dulu kabarkan soal Reim kepada ayahnya, ya Bi?”
“Iya, Nyonya …” Bi Asih mengangguk pendek.
Reima kini terbujur kaku dikasurnya. Anak polos yang biasanya cerewet itu kini tak berdaya apa-apa seperti ayahnya. Kini hanya ada selang-selang yang menyumbat hidungnya. Matanya terpejam. Mulutnya mengangga kosong dan terlihat dinggirnya ada bercak darah kering. Aku merasa terpukul menyaksikan penderitaan anakku. Aku lalu menghampirinya. Kubelai rambut Reima penuh kelembutan. Kuciumi dahinya, pipinya dan juga hidungnya. Air mataku mengalir deras. Kulapalkan kata-kata cinta dan sayang ketelinganya sambil kupanjatkan doa-doa agar Reima segera sembuh seperti sedia kala.
“Bunda sayang Reim, Bunda nggak mau kehilangan Reim. Cukuplah Bunda kehilangan Ayah yang hingga kini belum juga sembuh. Tapi jangan Reima. Bunda nanti nggakl punya siapa-siapa lagi di rumah, sayang.”
Aku terus meracau sendiri. Aku seakan yakin Reim mendengar semua yang aku katakan.
“Reim harus segera sembuh, ya Sayang. Bunda akan selalu merindukan tawamu.”
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, tiba-tiba ada suara terdengar memanggilku.
“Maaf, Bu, apakah ibu orangtua Reima?”
“I…. Iya ….. Dokter.”
“Saya Hussein, dokter yang menangani Reima.”
“Iya, Pak dokter.”
Aku hanya manggut mengiyakan. Seperti dihipnotis aku tak tahu apa lagi yang harus aku katakan saat itu. Mungkin aku panik. Aku benar-benar belum percaya kalau ini menimpa Reima begitu cepat.
“Bisa kita keluar sebentar, Bu?” ajak dokter Hussain.
Tanpa mengiyakan aku langsung mengikuti dokter Hussain dari belakang. Namun pandanganku rasanya sulit untuk dijauhkan dari Reima yang kini tengah tertidur pulas.
“Maaf Bu, Reima perlu istirahat yang cukup sampai tiga hari ke depan.”
Belum sempat pak dokter berbicara. Tak sabar aku memotong pembicaraannya.
“Lantas gimana keadaan Reima sekarang, Dokter?”
“Begini Bu. Akibat benturan di kepala yang sangat kuat saat Reima terjatuh, syaraf otak Reima jadi terganggu. Syaraf otak yang paling terganggu adalah organ lidah. Kemungkinan lidahnya akan kelu dan tidak bisa digerakkan lagi. Jadi ……”
“Jadi gimana, dok?”
“Jadi mulai hari ini ke depan, Reima….”
“Reima bagaimana, dok?”
“Reima kemungkinan tidak akan bisa berbicara lagi.”
“Apa……….?????!!!!”
Sungguh bagaikan petir disiang bolong saat aku mendengar kabar yang lebih buruk lagi. Ternyata Reima bukan saja terjatuh, tapi juga harus menderita kelainan. Ia tidak bisa berbicara lagi! Hampir saja aku tidak kuat menerima kabar ini. Belum juga sakit ayahnya sembuh, kini Reima yang harus menderita. Kuatkah aku menerima cobaan hidupku ini? Kini nyaris tidak ada yang bisa menemani hari-hariku lagi selain Bi Asih, pembantuku.
Aku menguatkan diri untuk tetap tegar mendengar penjelasan dokter Hussain. Sejenak aku berpikir, pasti ada jalan keluarnya. Aku yakin Allah tidak memberikan ujian kepada hamba-Nya kecuali ada jalan keluarnya. Likulli da’in dawa’un, setiap penyakit pasti ada obat penawarnya.
“Apakah Reima bisa disembuhkan, Dokter?”
“Doanya, kami hingga saat ini terus mencoba, Bu,” ujar dokter Hussain singkat.
Kata-kata dokter Hussein tidak mirip ungkapan yang menentramkan bagiku. Sekilas saja sudah bisa aku cerna kalau penjelasan dokter Hussain itu lebih mirip ungkapan pesimis.
Hari-hari kini aku habiskan untuk melayani dua orang kekasihku, Rasyid dan Reima. Pagi-pagi sekali aku dan Bi Asih menyiapkan sarapan untuk keduanya. Jika saatnya kami makan, aku bergiliran dengan Bi Asih. Demikian terus dari hari ke hari. Jarum jam di rumahku terasa lambat merayap.
Sekalipun ujian ini begitu berat, aku mencoba tegar untuk menghadapinya. Aku yakin, bahwa apa yang sudah ditentukan pada seseorang maka hal itu harus terjadi. Sampai kapan pun tidak akan ada seorang yang bisa menghalangi jika semua itu telah menjadi kehendak Yang Mahakuasa. Aku hanya berdoa, agar diberikan kekuatan bisa mengurus mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan tanpa putus asa. Aku tidak boleh terus-menerus meratapi nasib yang menimpaku dan keluargaku. Satu-satunya jalan keluar dari semua ini adalah ketegaran sampai waktu yang dikehendaki-Nya. Kecamuk dalam hati selalu kuhibur dengan sisa-sisa energi keimanan yang ada pada diriku.
Tiga bulan berlalu. Rasanya sudah tiga tahun aku melewatinya. Kondisi Rasyid, suamiku, tidak banyak perkembangan berarti. Ia masih saja tergolek di temapt tidur. Bahkan belakangan Rasyid juga tidak bisa berkata. Lidahnya kelu akibat tidak banyak digerakkan. Demikian pula dengan Reima, puteriku tercinta. Kondisinya dari hari ke hari tidak banyak berubah. Bahkan bisa dikatakan perkembangannya akhir-akhir ini kian buruk. Hingga suatu saat ………
Setelah dokter Hussain memeriksa Reim, ia menghampiriku di luar kamar.
“Bu, kondisi Reima makin melemah. Reima sudah saya kasih obat tadi. Jika besok kondisinya masih lemah, kemungkinan ibu harus segera membawanya kembaki ke rumah sakit,” demikian saran dokter Hussain.
“Baik, Dokter. Terima kasih.” Ujarku malas.
Sejak semula aku memang telah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada Rasyid, Reima, dan juga diriku. Bukan karena aku putus asa. Tapi betapa tidak ada cara ;ain yang mudah bagi hatiku selain pasrah menerima semua cobaan ini sembari terus menjalani berbagai ikhtiar untuk mengobatinya.
Tiga hari berlalu. Reima belum juga sadar. Seharian aku menunggu disamping Reima, dekat tempat tidurnya. Menjelang magrib, baru terlihat ada tanda-tanda Reima mulai menggerakkan tangannya. Spontan aku terbangun dari tidur lelapku setelah semalaman tidak bisa tertidur.
“Reima Sayang, bangunlah, ini Bunda, Sayang.”
Pelan-pelan Reima membuka matanya yang rapat. Mulutnya mulai sedikit komat-kamit ingin mengucapkan kata-kata. Namun terlihat masih agak berat baginya setelah tiga hari ini dia terdiam membisu. Dari isyarat mulutnya aku menangkap kata yang ingin disebutkannya. Dia tengah memanggilku. Aku segera mendekatinya dan mendekapnya lembut.
“Iya, Sayang, Bunda disini bersama Reima……….”
Reima lalu berisyarat kepadaku bahwa ia ingin mengucapkan sesuatu kepadaku. Seperti biasa, sejak Reima tidak bisa berkata-kata, alat komunikasi kami selama ini dibantu oleh kertas dan pulpen. Aku ambilkan pulpen dan kertas yang berada di meja.
Reima menerima kertas itu. Reima terlihat agak kesulitan menuliskannya. Aku pun segera mengambil balik kertas itu. Aku lalu menaruh kertas kosong itu ditelapak tanganku dan mendekatkannya pada Reima agar tangan Reima bisa menulis dengan leluasa.
Dibantu dengan tanganku, tangan Reima mulai menuliskan sesuatu kertas itu. Lama ia menulis. Aku lihat air matanya menetes disetiap pelupuk matanya yang mulai sembab dan membiru. Tampak wajahnya pucat pasi beberapa hari ini.
Ketika Reima selesai menulis surat itu, aku pun segera meraihnya dan mulai membacanya pelan. Mendadak aku menangis menjerit dan memeluk Reima kuat-kuat. Reima pun menangis tersedu-sedu. Kamar pasien G-2/258 itu akhirnya penuh degan luapan tangis dua anak manusia yang tengah dirundung duka. Antara ibu dan seorang anak yang dicintainya.
“Nggak, Sayang, jangan kamu ucapkan itu sama Bunda. Percayalah, Reima bakal cepat sembuh dan kita bisa bersama-sama lagi menghibur Ayah.” Ujarku menghibur.
Bagaimana aku tidak terharu. Disurat Reima yang tadi aku baca tertulis dengan jelas.
Bunda,
Maafin Reima ya……………
Semoga Bunda senantiasa diberikan kekuatan.
Bagiku kata-kata itu seolah ungkapan terakhir yang ingin diucapkan Reima kepadaku, Ah, aku segera menipisnya. Itu mungkin semacam kekuatiran Reima saja. Aku tak mau menduga-duga. Dalam kondisi seperti ini, aku tidak boleh bersedih sebelum kesedihan itu benar-benar menimpaku. Ya, begitulah seharusnya. Seraya aku terus memeluk Reima, sesekali aku membelai rambutnya. Kami masih larut dalam tangis.
Kembali Reima meraih kertasnya dan menulis.
Bunda,
Jaga Ayah baik-baik ya……………
Reima akan selalu merindukan Bunda.
Tulisan Reima semakin mebuat pilu hatiku yang telah teriris-iris. Kembali aku memluk Reima erat. Tak mau lepas. Aku mencium keningnya, pipinya, dan juga matanya. Mulutnya terlihat meronta-ronta meraih pipi dan dahiku. Aku dekatkan pipi dan dahiku. Ia menciumnya lama. Lama sekali. Saat ia melepas ciumannya yang terakhir, seiring itu pula napas panjang ia tarik dengan sangat berat. Pelukanku semakin erat. Tak kusangka, disaat-saat sulit itu Reima justru sempat melontarkan kata-kata langsung dari mulutnya sendiri. Kali ini tanpa pulpen dan kertas.
“Re…Rei…ma..sa..sa..yang…bun…bun…ndaaa….”
“Jangan, Reima. Jangan sekarang, Sayang………..”
Tarikan napas panjang itu terdengar sedikit menengorok. Reima pun menghembuskan napas yang terakhir. Tangisku semakin nyaring terdengar. Aku benar-benar tak peduli karena membuat gaduh sekitarku. Saat itu betapa aku ingin menikmati kesedehan ini sejadi-jadinya setelah selama ini aku tahan.
Keesokan harinya. Banyak keluarga dan sanak saudara yang melayat ke rumahku. Aku masih saja terduduk lemas dengan ingatan yang menerawang. Lama sekali aku tidak tahu bagaimana keadaaan Rasyid ketika mendengar berita kematian puteri kesayangannya itu. Yang aku tahu, saat itu dirumahku ramai orang melayatkan jenazah Reima. Setelah disholatkan, Reima lalu dibawa orang-orang menuju pemakaman umum disekitar tempatku.
Pemakaman berlangsung sederhana. Tidak banyak yang mengikui upacara pemakaman ini selain handai taulan dan teman-teman Reima. Aku berjalan lunglai sambil mendorong kursi roda suamiku, Rasyid. Sesekali aku menyeka air mataku dan air mata suamiku yang sampai saat ini belum kunjung reda. Selalu terbayang dalam ingatan kami riuh tawa Reima yang membuat rumah kami selalu ramai. Ramai dengan kebahagian di tengah selimut duka yang terus mendera kami.
Ustadz Marwan bertugas sebagai pembaca doa terakhir bagi persemayaman jenazah. Aku dan suamiku begitu khidmat mengikuti prosesi pemakaman reima. Tak ada doa lain yang kupajatkan selain agar Reima damai di pangkuan-Mu, Ya Allah!
Mudah-mudahan aku senantiasa diberi kekuatan lahir bathin untuk menerima semua ujian ini, terutama untuk menikmati sisa-sisa cintaku bersama suamiku tersayang, Rasyid.
Sehari setelah pemakaman Reima berlalu, aku seakan maish tak percaya reima meninggalkan kami begiru cepat. Setelah aku memberi sarapan pada suamiku, aku lalu melongok kamar Reima dan mengamati semua yang ada dalam kamar itu. Kali ini aku tidak mendapatkan sambutan manja dari siempunya kamar yang serba biru itu. Setiap pojok kamar itu benar-benar mengingatkanku kepada Reima. Tawanya yang renyah terus-menerus mengganggu ingatanku akan bibirnya yang mungil. Tawa itulah yang selama ini memenuhi setiap pojok rumah kami dengan kebahagian. Anakku yang cantik, lucu, dan cerdas itu telah tiada.
Tuhan, mengapa begitu cepat Engkau memanggilnya, pikirku sejenak. Mengapa aku dulu tidak sering mengantarkannya ke sekolah seperti permintaannya? Aku sungguh menyesal belum mampu memberikan yang terbaik untuk puteriku. Aku sungguh menyesal belum mampu memberikan yang terbaik untuk puteriku. Aku tidak mengira akan secepat ini puteriku berlalu dari sisiku. Aku segera beristighfar. Setan jelas-jelas tengah menggoda keikhlasan hidupku. Aku langsung menutup pintu kamar Reima. Kini, kamar biru itu tinggal menyisakan kenangan. Kenangan indah yang tak kan pernah kulupakan.
Jumat pagi, tiga tahun kemudian. Tiba-tiba Bi Asih, pembantuku, memanggilku dengan napas terengah-engah. Katanya ia kaget karena barusan mendengar suara yang berasal dari kamar Reima!
“Nyonya, ta…ta…di…. saya mende…ngar…suara sesuatu dari kamar Reima!” ujar Bi Asih gugup.
“Ah yang benar Bi?” tegasku meyakinkan.
Ya Tuhan, apakah ini masuk akal? Reima kembali? Ah, tidak, ini benar-benar tidak masuk akal! Pikirku meracau. Sejak tiga tahun itu, persis aku dan siapapun dirumahku, tidak pernah menginjak lagi kamar Reima. Rasyid, suamiku, menyarankan agar aku segera memeriksa kamar reima dan melihat apa yang sedang terjadi. Aku lalu mengambil kunci kamar Reima di kamarku yang tersimpan rapi bersama pernak-pernik Reima dalam kotak kecil hijau kesukaanya dulu.
Setelah memanggil Bi Asih, aku segera mendekati kamar Reima. Pelan-pelan aku memasukkan kunci itu. Tanganku memutarkannya kesebelah kiri. Jantungku mendadak berdegup kencang membayangkan apa yang akan terjadi. Krek!.
Tak sulit membuka pintu kamar Reima. Terbukalah pintu itu dan nampaklah kamar Reima setelah tiga tahun tidak terbuka. Semuanya tetap berada di tempat semula. Lemari, tempat tidur, meja, kipas angin dan lainnya. Hampir tidak ada yang berubah sama sekali, Hanya kini ruangan itu banyak dipenuhi sarang laba-laba dan berdebu. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku. Aku terduduk di salah satu kursi kamar milik Reima. Aku pun tiba-tiba menangis. Menangis. Dan menangis sejadi-jadinya.
Aku lemparkan tubuhku di tempat tidurnya seraya menjambak sprei. Aku membayangkan tengah memelik si pemilik tempat tidur yang telah lama tidak terlitas lagi dalam ingatanku.
Tempat tidur itu mengeluarkan suara kret….kret… saat aku bergerak. Benar kata Reima dulu saat ia memohon kepadaku untuk membetulkan tempat tidurnya karena sudah rusak. Aku lupa memanggilkan tukang kayu untuk memenuhi permohonan Reima. Tapu sekarang tidak ada gunanya lagi. Pemiliknya kini telah memiliki tempat tidur baruyang lebih mepuk disisi-Nya.
Lantas, dari mana sumber suara yang disebutkan Bi Asih tadi. Aku mencari-cari, bahkan ke sekeliling kamar Reima. Ketika pandanganku tertuju ke pojok kamar sebelah kanan tempat tidur, aku menemukan sebidang bingkai bertuliskan kaligrafi ayat kursi tergelatk disana. Aku pikir, mungkin suara tadi adalah bingkai yang jatuh ke samping tempat tidur. Aku teringat kaligrafi itulah yang selalu dihapalkan Reimasetiap hari hingga reima benar-bnar hapal diluar kepala.
Lamat-lamat aku membacanya sambil membayangkan Reima yang suka membacanya di depanku saat ia ingin diuji hapalannya.
“Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuum la takhudzhu………(Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerusmengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-nya apa yang ada dilangit dan dibumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat disisi Allah tanpa izin-Nya Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha tinggi Lag Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah[2]255)).
Ketika aku hendak memasngkan bingkai kaligrafi ayat kursi itu kembali ke tempatnya, aku melihat ada secarik kertas dibelakang bingkai itu sama persis seukuran dengan kaligrafi tersebut. Ya Allah, ini mungkin salah satu surat dari surat-surat yang pernah ditulis Reima. Apa sebenarnya yang tertulis dalam surat yang masih terlipat itu? Kenapa pula Reima menaruh surat itu di belakang ayat kursi ini? Sedemikian rahasia kah surat ini?
Ternyata benar. Surat itu adalah surat terakhir yang pernah ditulis Reima untuk Allah. Pelan-pelan sekali aku membaca dan menghayatinya. Dalam surat itu tertulis,
Jumat, 14 Februari
Ya Allah, Ya Tuhanku…………..
Wafatkanlah aku, dan hidupkanlah Ayah……………
Mataku terbelalak. Ternyata doa inilah yang telah mengantarkan nyawa puteriku satu-satunya. Saat itu aku lemas dan menangis sejadi-jadinya. Aku terus saja menangis hingga aku tak tahu kapan tangisan ini akan terhenti. Selamat jalan puteriku!.
Diadaptasi dari buku 300 KM menuju Jahanam